Perspektif Etika Bisnis Dalam
Ajaran Islam Dan Barat, Etika Profesi
A.
Beberapa
Aspek Etika Bisnis Islami
Mengenai
etika bisnis dalam Islam, Sudarsono dalam bukunya yang berjudul Etika Islam
tentang Kenakalan Remaja, mengatakan bahwa, etika Islam adalah doktrin etis
yang berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad Saw., yang di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur dan
sifat-sifat yang terpuji (mahmudah).29 Dalam agama Islam, etika ataupun
perilaku serta tindak tanduk dari manusia telah diatur sedemikian rupa sehingga
jelas mana perbuatan atau tindakan yang dikatakan dengan perbuatan atau
tindakan asusila dan mana tindakan atau perbuatan yang disebut bermoral atau
sesuai dengan arturan agama.
Berkaitan dengan nilai-nilai lihur yang tercakup
dalam Etika Islam dalam kaitannya dengan sifat yang baik dari perbuatan atau
perlakuan yang patut dan dianjurkan untuk dilakukan sebagai sifat terpuji,
lebih jauh Sudarsono menyebutkan, antara lain :
’’Berlaku jujur (Al Amanah), berbuat baik kepada
kedua orang tua (Birrul Waalidaini), memelihara kesucian diri (Al Iffah), kasih
sayang (Ar Rahman dan Al Barry), berlaku hemat (Al Iqtishad), menerima apa
adanya dan sederhana (Qona’ah dan Zuhud), perikelakuan baik (Ihsan), kebenaran
(Shiddiq), pemaaf (‘Afu), keadilan (‘Adl), keberanian (Syaja’ah), malu (Haya’),
kesabaran (Shabr), berterima kasih (Syukur), penyantun (Hindun), rasa
sepenanggungan (Muwastt), kuat (Quwwah)’’.30
Dalam etika Islam, ukuran kebaikan dan ketidakbaikan
bersifat mutlak, yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw.
Dipandang dari segi ajaran yang mendasar, etika Islam tergolong Etika Theologis.
Menurut Hamzah Ya’qub, bahwa yang menjadi ukuran etika theologis adalah baik
buruknya perbuatan manusia didasarkan atas ajaran Tuhan. Segala perbuatan yang
diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang dilarang oleh
Tuhan itulah perbuatan yang buruk, yang sudah dijelaskan dalam kitab suci.
Etika Islam mengajarkan manusia untuk menjalain kerjasama, tolong menolong, dan
menjauhkan sikap iri, dengki dan dendam.31
Mempelajari etika ekonomi menurut Al-Qur’an adalah
bahagian normatif dari ilmu ekonomi, bahagian ilmu positifnya akan lahir
apabila telah dilakukan penyelidikanpenyelidikan empiris mengenai yang
sesungguhnya terjadi, sesuai atau tidak sesuai dengan garis Islam. Ekonomi
merupakan bagian dari kehiupan. Namun, ia bukan pondasi bangunannya dan bukan
tujuan risalah Islam. Ekonomi juga bukan lambang peradaban suatu umat.32
Ekonomi Islam adalah bertitik tolak dari Tuhan dan
memiliki tujuan akhir pada Tuhan. Tujuan ekonomi ini membantu manusia untuk
menyembah Tuhannya yang telah memberi makan kepada mereka untuk menghilangkan
lapar serta mengamankan mereka dari ketakutan. Juga untuk menyelamatkan manusia
dari kemiskinan yang bisa mengkafirkan dan kelaparan yang bisa mendatangkan
dosa. Juga untuk merendahkan suara orang zalim di atas suara orang-orang
beriman.33
Manusia muslim, individu maupun kelompok dalam
lapangan ekonomi atau bisnis, di satu sisi diberi kebebasan untuk mencari
keuntungan sebesar-besarnya. Namun di sisi lain, ia terikat dengan iman dan
etika (moral) sehingga ia tidak bebas mutlak dalam menginvestasikan modalnya
atau membelanjakan hartanya. Ia harus melakukan kegiatan usahanya sesuai dengan
prinsip-prinsip nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran, serta kemanfaatan
bagi usahanya. Di samping itu, ia harus mepedomani norma-norma, kaidahkaidah yang
berlaku dan terdapat dalam sistem hukum Islam secara umum.
B.
Teori
Ethical Egoism
Ethical Egoism mengatakan suatu tindakan dikatakan
etis apabila bermanfaat bagi diri sendiri serta mengatakan bahwa kita harus
mengejar sendiri atau mengutamakan kepentingan diri kita.
C.
Teori
Relativisme
Relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang
berarti nisbi atau relative. Sejalan dengan arti katanya, secara umum
relativisme berpendapat bahwa perbedaan manusia, budaya, etika, moral, agama,
bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan perbedaan karena faktor-faktor di
luarnya. Sebagai paham dan pandangan etis, relativisme berpendapat bahwa yang
baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing
orang dan budaya masyarakatnya. Ajaran seperti ini dianut oleh Protagras,
Pyrrho, dan pengikut-pengikutnya, maupun oleh kaum Skeptik.
D.
Konsep
Deontology
1.
Sistem etika ini hanya menenkankan suatu
perbuatan di dasarkan pada wajib tidaknya kita melakukan perbuatan itu.
2.
Yang disebut baik dalam arti
sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik, semua hal lain di sebut baik secara
terbatas atau dengan syarat. Contohnya : kesehatan, kekayaan, intelegensia,
adalah baik juka digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Tetapi jika
digunakan oleh kehendak jahat, semua hal itu menajdi jahat sekali.
3.
Kehendak menjadi baik, jika bertindak
karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan dengan suatu maksud atau motif
lain, perbuatan itu tidak bisa di sebut baik, walaupun perbuatan itu suatu
kecendrungan atau watak baik.
4.
Perbuatan dilakukan berdasarkan
kewajiban, bertindak sesuai dengan kewajiban si sebut legalitas. Dengan
legalitas kita memenuhi norma hukum.
5.
Paham deontologi membagi kewajiban moral
menjadi 2 yaitu :
Imperatif (perintah)
kategoris (hukum moral)
a. Kewajiban
moral yang mewajibkan begitu saja tanpa syarat.
b. Imperatif
ini menjiwai semua peraturan etis. Contoh janji harus ditepati senang atau
tidak, barang yang dipinjam harus dikembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa.
Imperalis hipotesis : kewajiban
moral yang mengikutsertakan sebuah syarat.
a. Kalau
kita ingin mencapai suatu tujuan, maka kita harus menghendaki sarana-sarana
yang menuju ke tujuan itu. Contoh : jika kita ingin lulus ujian, kita harus
belajar dengan tekun tetapi sarana (belajar) itu hanya mewajibkan kita, sejauh
kita ingin mencapai tujuan (lulus).
b. Kalau
norma moral dipahami sebagai imperative kategoris, maka dalam bertindak secara
moral, kehendak dibagi menjadi 2 sifat, yaitu :
Bersifat otonom
Yang
menentukan dirinya sendiri (memberikan hukum moral kepada dirinya sendiri). Dalam
tingkah laku moralnya, manusia tidak menaklukkan diri kepada yang lain,
melainkan kepada hukumnya sendiri.
Otonomi kehendak
berarti kebebasan manusia (manusia bebas karena mengikat dirinya sendiri dengan
hukum moral). Kehendak bebas dan kehendak yang menundukkan diri kepada hukum
moral mempunyai arti yang sama.
Bersifat heteronom
Membiarkan diri ditentukan oleh faktor
dari luar dirinya seperti kecendrungan atau emosi.
E.
Pengertian
Profesi
Profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam
bahasa Inggris "Profess", yang dalam bahasa Yunani adalah
"Επαγγελια", yang bermakna: "Janji untuk memenuhi kewajiban
melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen".
Profesi juga sebagai pekerjaan yang membutuhkan
pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi
biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan
lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada
bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer,[[teknik desainer, tenaga pendidik.
Seseorang yang berkompeten di suatu profesi
tertentu, disebut profesional. Walau demikian, istilah profesional juga
digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari
amatir. Contohnya adalah petinju profesional menerima bayaran untuk
pertandingan tinju yang dilakukannya, sementara olahraga tinju sendiri umumnya
tidak dianggap sebagai suatu profesi.
F.
Kode
Etik
Kode etik adalah suatu sistem norma, nilai &
juga aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar
& baik & apa yang tidak benar & tidak baik bagi profesional. Kode
etik menyatakan perbuatan apa saja yang benar / salah, perbuatan apa yang harus
dilakukan & perbuatan apa yang harus dihindari. Atau secara singkatnya
definisi kode etik yaitu suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis
ketika melakukan suatu kegiatan / suatu pekerjaan. Kode etik merupakan pola
aturan / tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Pengertian kode etik yang lainnya yaitu, merupakan
suatu bentuk aturan yang tertulis, yang secara sistematik dengan sengaja dibuat
berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada & ketika dibutuhkan dapat
difungsikan sebagai alat untuk menghakimi berbagai macam tindakan yang secara
umum dinilai menyimpang dari kode etik tersebut.
Kode etik profesi merupakan
suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat
tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode
etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum.
Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan,
tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan.
Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai
atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak
profesional.
G.
Prinsip
Etika Profesi
Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan
suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan dengan
prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Di sini akan
dikemukakan empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk semua
profesi pada umumnya. Tentu saja prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya,
karena prinsip-prinsip etika pada umumnya yang paling berlaku bagi semua orang,
juga berlaku bagi kaum profesional sejauh mereka adalah manusia.
1. Pertama,
prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum
profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang
bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya
dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan
melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik
mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan
moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin
dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia sendiri dapat
mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan
profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan
profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung
jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain
khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana
profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja,
ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam.
Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah
melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
2. Prinsip
kedua adalah prinsip keadilan . Prinsip ini terutama menuntut orang yang
profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan
kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka
profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan
profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap
siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya
.prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan
perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya
.jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga
kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas
pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang
miskin itu tidak membayar secara memadai.
3. Prinsip
ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh
kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan
sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi
dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan
terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur
tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada pihak
pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang
bersangkutan dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi
tersebut. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas
mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang
kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas.
Namun begitu tetap saja seorang profesional harus diberikan rambu-rambu /
peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya
pelanggaran yang dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan
tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap
profesi yang dikerjakan oleh profesional tersebut.
Hanya
saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi
oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan
profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi
ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional. Secara
khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu, dalam
menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan
kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa
kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum profesional,
pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar
pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi,
otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama.
Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan
tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu,
termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu
dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu pemerintah
wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi.
Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan penegakan
etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa mencampuri
profesi itu sendiri.
4. Prinsip
integritas moral. Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat
jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yang punya integritas
pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk
menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan
masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum
profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak
akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya. Maka, ia
sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas profesinya
serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan
profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada
godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar
niali uang dijunjung tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya integritas
moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah atas
bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan prinsip
keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan
mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror, fitnah, kekuasaan
dan semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati, ia malah
sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral,
khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini
terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan, ia
rela mati hanya demi memepertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu.
Dengan kata lain, prinsip integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut
punya pendirian yang teguh, khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut
profesinya.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar